Ajaran Samin (disebut juga Pergerakan Samin atau Saminisme) adalah salah satu kepercayaan yang ada di Indonesia. Masyarakat ini adalah keturunan para pengikut Samin Surosentiko yang mengajarkan sedulur sikep, di mana mereka mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda dalam bentuk lain di luar kekerasan.[1] Bentuk yang dilakukan adalah menolak membayar pajak, menolak segala peraturan yang dibuat pemerintah kolonial. Masyarakat ini acap memusingkan pemerintah Belanda maupun penjajahan Jepang karena sikap itu, sikap yang hingga sekarang dianggap menjengkelkan oleh kelompok di luarnya.[2]
Artikel ini adalah bagian dari seri |
Agama asli Nusantara |
---|
Sumatra |
Ugamo Malim • Pemena • Arat Sabulungan • Fanömba adu • Melayu |
Jawa |
Sunda Wiwitan (Madraisme & Buhun) • Kapitayan • Kejawen • Hindu Jawa • Saminisme |
Nusa Tenggara |
Hindu Bali • Halaika • Wetu Telu • Marapu • Jingi Tiu • Koda Kirin |
Kalimantan |
Kaharingan • Momolianisme • Bungan |
Sulawesi |
Aluk Todolo • Tolotang • Tonaas Walian • Adat Musi • Masade • Hindu Sulawesi |
Maluku dan Papua |
Naurus • Wor • Asmat |
Organisasi |
Portal «Agama» |
Masyarakat Samin sendiri juga mengisolasi diri hingga baru pada tahun '70-an, mereka baru tahu Indonesia telah merdeka. Kelompok Samin ini tersebar sampai Jawa Tengah, namun konsentrasi terbesarnya berada di kawasan Blora dan Bojonegoro, yang masing-masing bermukim di perbatasan kedua wilayah.[3] Jumlah mereka tidak banyak dan tinggal di kawasan pegunungan Kendeng di perbatasan dua provinsi. Kelompok Samin lebih suka disebut wong sikep, karena kata samin bagi mereka mengandung makna negatif.[4] Orang luar Samin sering menganggap mereka sebagai kelompok yang lugu, tidak suka mencuri, menolak membayar pajak, dan acap menjadi bahan lelucon terutama di kalangan masyarakat Bojonegoro. Pokok ajaran Samin Surosentiko, yang nama aslinya Raden Kohar, kelahiran Desa Ploso Kedhiren, Randublatung, tahun 1859, dan meninggal saat diasingkan ke Padang, 1914.[5][6]