Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Artikel ini perlu diterjemahkan dari bahasa Melayu ke bahasa Indonesia. |
Al-Ghazālī (الغزالي) Algazel | |
---|---|
Lahir | 1058 Tus, Iran, Kesultanan Seljuk Raya |
Meninggal | 1111 Thus, Khorasan Kesultanan Seljuk Raya |
Era | Zaman keemasan Islam |
Kawasan | Filosof Islam |
Aliran | Ahlus Sunnah, Asy'ariyah, Hujjatul islam, Syafi'i |
Minat utama | Teologi, Filsafat Islam, Fikih, Sufisme, Mistisisme, Psikologi, Logika, Kosmologi |
Gagasan penting | skeptisisme, okasionalisme |
Dipengaruhi | |
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (bahasa Arab: ابو حامد محمد بن محمد الغزالي الطوسي الشافعي) (1058 (umur -54–-53)
) adalah seorang filsuf dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan.[1][2][3]
Ia berkuniah Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid.[butuh rujukan] Gelar dia al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (kini Iran). Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa dia bermazhab Syafi'i. Ia berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia.[4][5][6] Ia pernah memegang jabatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.
Ia dianggap sebagai Mujaddid abad ke-5, seorang pembaru iman; yang, menurut hadis kenabian, muncul setiap 100 tahun sekali untuk memulihkan iman Komunitas Islam. Karya-karyanya sangat diakui oleh orang-orang sezamannya sehingga al-Ghazali dianugerahi gelar kehormatan "Bukti Islam" (Hujjat al-Islam).[7][8]
Al-Ghazali percaya bahwa tradisi spiritual Islam telah hampir mati dan bahwa ilmu-ilmu spiritual yang diajarkan oleh generasi pertama umat Islam telah dilupakan. Keyakinan ini mendorongnya untuk menulis magnum opusnya yang berjudul Ihya Ulumuddin (translit. Kebangkitan Ilmu Pengetahuan Agama). Di antara karya-karyanya yang lain, Tahafut al-Falasifah (Incoherence of the Philosophers translit. Inkohorensi Para Filsuf) adalah tengara dalam sejarah filsafat, karena memajukan kritik terhadap sains Aristotelian yang dikembangkan kemudian di Eropa abad ke-14.[9]
Ghazali Revival ihya.