![]() | Konten dan perspektif penulisan artikel ini tidak menggambarkan wawasan global pada subjeknya. |
Anti-pepatah atau anti-peribahasa adalah transformasi dari pepatah standar untuk menghasilkan efek jenaka/humor. Seorang ahli paremiologi, Wolfgang Mieder, mendefinisikan anti-pepatah sebagai peribahasa yang "diparodikan, dipelintir, atau dipatahkan, sehingga menyatakan ungkapan yang lucu, atau bermain dengan pepatah kebijaksanaan tradisional dalam nuansa satir".[1] Anti-pepatah juga didefinisikan sebagai suatu distorsi sindiran, parodi, penyalahgunaan pepatah, atau kontekstualisasi yang tidak terduga dari pepatah yang lazim diketahui, yang biasanya digunakan untuk efek menyenangkan ataupun menyindir".[2] Agar dapat memiliki efek penuh, anti-pepatah harus berdasarkan pepatah yang sudah dikenal. Misalnya, "Jika pada kali pertama mencoba tidak berhasil, berhenti" hanya akan terdengar lucu jika pihak yang mendengar, mengetahui bentuk standar pepatah tersebut, yakni "Jika pada kali pertama tidak berhasil, coba, coba lagi". Anti-peribahasa biasa digunakan dalam iklan, seperti "Tempatkan burger dimana mulut berada" (put your burger where your mouth is) dari Red Robin.[3] Anti-peribahasa juga umum pada T-shirt, misalnya "Rasa membuat pinggang" (Taste makes waist), serta "Jika pada kali pertama tidak berhasil, terjun payung bukanlah untukmu" (if at first you don't succeed, skydiving is not for you), dll. Dalam bahasa Indonesia, sebagai contoh, "Kegagalan adalah keberhasilan yang gagal."
Pepatah standar pada dasarnya merupakan frase yang didefinisikan, dan dikenal banyak orang, seperti contohnya "Jangan menggigit tangan yang menyuapimu" (don't bite the hand that feeds you). Ketika urutan dalam pepatah tersebut sedikit diubah, misalnya "Jangan menggigit tangan yang terlihat kotor" (don't bite the hand that looks dirty), maka ungkapan tersebut berubah menjadi anti-pepatah. Hubungan anti-pepatah dan pepatah, dan studi mengenai seberapa banyak pepatah yang dapat diubah sebelum menghasilkan anti-pepatah yang tidak lagi terlihat sebagai pepatah, masih menjadi topik yang terbuka bagi penelitian.[4]