Asosiasi Asistensi untuk Pemerintahan Kekaisaran 大政翼賛會 Taisei Yokusankai | |
---|---|
Presiden | Fumimaro Konoe (1940–1941) Hideki Tojo (1941–1944) Kuniaki Koiso (1944–1945) Kantarō Suzuki (1945) |
Wakil Presiden | Heisuke Yanagawa (1941) Kisaburō Andō (1941–1943) Fumio Gotō (1943–1944) Taketora Ogata (1944–1945) |
Dibentuk | 12 Oktober 1940 |
Dibubarkan | 13 Juni 1945 |
Digabungkan dari | Rikken Seiyūkai Rikken Minseitō Kokumin Dōmei Shakai Taishūtō |
Kantor pusat | Marunouchi, Chiyoda, Tokyo, Kekaisaran Jepang |
Surat kabar | Osamu Tsubasa |
Sayap pemuda | Pemuda Jepang Raya (大日本靑少年團, Dai-nippon Seishōnendan) |
Sayap wanita | Asosiasi Wanita Jepang Raya (大日本婦人會, Dai-nippon Fujinkai) |
Sayap parlemen | Yokusan Sonendan |
Kelompok parlemen | Yokusan Seijikai |
Program mobilisasi | Asosiasi Kewilayahan |
Milisi nasional | Korps Tempur Sukarelawan |
Ideologi | |
Agama | Shintō Negara |
Warna | Merah dan putih |
Shūgiin (1942) | 381 / 466 |
Asosiasi Asistensi untuk Pemerintahan Kekaisaran atau Taisei Yokusankai (Jepang: 大政翼贊會/大政翼賛会 ) adalah sebuah organisasi masa perang Kekaisaran Jepang yang dibuat oleh Perdana Menteri Fumimaro Konoe pada 12 Oktober 1940, untuk mempromosikan tujuan-tujuan dari gerakan Shintaisei-nya ("Orde Baru"). Organisasi tersebut berubah menjadi partai politik pemerintahan "statis" yang bertujuan untuk menyingkirkan seksionalisme dalam politik dan ekonomi di Kekaisaran Jepang untuk menciptakan negara satu partai totaliter, dalam rangka memaksimalisasi efisiensi upaya perang total Jepang di Tiongkok.[4] Ketika organisasi ini diluncurkan secara resmi, Konoe di angkat sebagai "penyelamat politik" sebuah negara yang sedang kacau; namun, perpecahan internal segera muncul.
.2 All existing political parties "voluntarily" dissolved themselves, replaced by a single authorized political body, the ultranationalist Imperial Rule Assistance Association.
Conservatives such as Hiranuma Kiichiro, who served as prime minister for eight months in 1939, objected that the proposed totalitarian IRAA was nothing but a "new shogunate" that would usurp the power of the emperor's government, and Japanists declared that the national polity, the hallowed kokutai, already united the emperor with subjects who naturally fulfilled their sacred obligation to "assist imperial rule." On a more mundane plane, senior officials within the Home Ministry feared the loss of bureaucratic turf and complained that the proposed network of occupationally based units would interfere with local administration at a particularly crucial time in the nation's history.