Bahasa baku, bahasa standar atau standar kebahasaan adalah jenis bahasa yang dibedakan dengan bentuk kesehariannya (termasuk dialek geografis dan sosiolek). Jenis bahasa tersebut biasanya diterima oleh masyarakat sebagai alat komunikasi publik dan formal, seperti dalam perundang-undangan, surat-menyurat, dan rapat resmi.[1][2] Terkadang, bahasa baku dipandang sebagai varian bahasa yang bersifat netral atau varian yang digunakan oleh seluruh anggota masyarakat, tanpa memandang asal wilayah, suku atau status sosial pengguna bahasa tersebut.[3][4]
Dalam pengertian lain, bahasa baku adalah bentuk bahasa yang telah mengalami proses pembakuan, yaitu tahap menegakkan tata bahasa dan kamus secara terkaidah.[2] Penetapan bahasa baku biasanya melibatkan kodifikasi kaidah kebahasaan dan sistem ejaan, serta penerimaannya oleh khalayak umum.[5]
Selain dua pengertian tersebut, ada juga pengertian lain yang menyatakan bahwa bahasa baku (standard language) adalah suatu bahasa yang setidaknya memiliki satu bentuk yang telah dibakukan. Menurut pengertian itu, istilah bahasa baku merujuk kepada keseluruhan bahasa tersebut, bukan kepada bentuk bakunya sendiri.[6][7]
Di Indonesia, bahasa baku umumnya dianggap tidak cocok untuk digunakan pada segala keperluan, tetapi hanya untuk komunikasi resmi, wacana teknis, pembicaraan di depan umum, dan pembicaraan dengan orang yang dihormati. Di luar keempat penggunaan itu, umumnya dipakai bahasa tak baku.[1] Fenomena bahasa Indonesia ini disebut dengan diglosia.[8][9]