Buddhisme dan orientasi seksual

Hubungan antara agama Buddha dan orientasi seksual berbeda-beda menurut aliran, tradisi, dan guru. Menurut beberapa ahli, Buddhisme awal dan beberapa cabang aliran Theravāda tampaknya tidak memberikan stigma khusus terhadap hubungan homoseksual karena topiknya tidak dijelaskan secara khusus dalam kitab suci.[1]

Kemungkinan besar, aliran-aliran Mahāyāna yang lahir dari Buddhisme Tionghoa dipengaruhi oleh norma Konfusianisme (Konghucu) yang melarang pernikahan homoseksual. Tidak seperti Konfusianisme, pernikahan sering kali dianggap sebagai urusan nonreligius dalam agama Buddha.[2]

Buddhisme menekankan latihan empat keadaan batin yang luhur (brahmavihāra), yaitu cinta kasih (mettā), welas asih atau belas kasihan (karuṇā), turut-berbahagia atau kegembiraan simpatik (mudita), dan keseimbangan batin (upekkhā) terhadap semua makhluk tanpa terkecuali, termasuk mereka yang orientasi seksualnya tergolong minoritas. Kebencian terhadap makhluk apa pun, termasuk mereka yang suka sesama jenis, tidak dibenarkan.[3] Berhubungan dengan homoseksualitas, Bhikkhu Ratandhīro, seorang biksu di bawah naungan Saṅgha Theravāda Indonesia, menjelaskan lebih lanjut:[4]

"Buddhisme menilai semua perbuatan, termasuk perbuatan seksual, berdasarkan niat di baliknya dan akibat yang ditimbulkannya. Suatu perbuatan seksual yang dimotivasi oleh cinta kasih, kebersamaan, dan keinginan untuk berbagi, akan dinilai sebagai positif, tanpa memandang jenis kelamin dari kedua orang yang terlibat.

Meskipun sering kali berbenturan dengan ketatnya peraturan adat dan hukum sebuah negara, homoseksualitas belum tentu dianggap sebagai sesuatu yang tidak bermoral.

Jika kaum homoseks dapat menghindari tindakan asusila [sesuai definisi Buddhis], serta memiliki tata susila yang baik, tidak ada alasan bahwa mereka tidak dapat berlatih dengan tulus dan menikmati semua berkah dari kehidupan."

Ajahn Brahm, seorang biksu Theravādin Australia dalam Tradisi Hutan Thai, telah berbicara secara terbuka tentang dukungannya terhadap pernikahan sesama jenis. Pada sebuah konferensi di Singapura pada tahun 2014, ia mengatakan bahwa ia sangat bangga telah dapat melakukan pemberkatan pernikahan sesama jenis untuk pasangan di Norwegia, dan menekankan bahwa ajaran Buddha tidak mendiskriminasi seseorang berdasarkan orientasi seksual.[5][6]

  1. ^ James William Coleman, The New Buddhism: The Western Transformation of an Ancient Tradition. Oxford University Press 2002, page 146.
  2. ^ Fian, Andi (2 December 2022). "BUDDHISM AND CONFUCIANISM ON HOMOSEXUALITY: THE ACCEPTANCE AND REJECTION BASED ON THE ARGUMENTS OF RELIGIOUS TEXTS". Journal of Religious Studies (dalam bahasa English). Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada: Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS). 3 (2): 73–82 – via Phil. 
  3. ^ Walshe, M. O'C; Wijaya, Willy Yandi (Agustus 2007). Seksualitas dalam Buddhisme (PDF). Yogyakarta: Vidyāsenā Production. 
  4. ^ Ratanadhīro, Bhikkhu (2017). Jotidhammo Mahāthera, Bhikkhu, ed. Aṭṭhasīla (PDF). Yogyakarta: Vidyāsenā Production. hlm. 13–45. 
  5. ^ "Buddhist abbot Ajahn Brahm in Singapore: 'Unacceptable' that religion has been so cruel to LGBTIs". Gay Star News. 26 July 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 November 2020. Diakses tanggal 26 August 2016. 
  6. ^ Perspectives, American Buddhist (30 July 2014). "Buddhist abbot Ajahn Brahm says that it is 'Unacceptable' that religion has been so cruel to LGBTIQs". 

From Wikipedia, the free encyclopedia · View on Wikipedia

Developed by Nelliwinne