Provinsi Otonom Bougainville Wilayah Otonomos Bilong Bogenvil | |
---|---|
![]() | |
Ibu kota | Buka |
Bahasa resmi | Tok Pisin, Inggris |
Kelompok etnik | Bugenvil |
Agama | Kristen Katolik (Agama Resmi) |
Pemerintahan | Demokrasi Parlementer |
• Presiden | Ismail Toroama |
Patrick Nisira | |
Legislatif | Dewan Perwakilan Rakyat |
Kemerdekaan | |
27 November 1942 | |
23 Juni 1950 | |
25 Juni 2002 | |
2027 | |
Penduduk | |
- Perkiraan 2011 | 249,358 (-) |
- Sensus Penduduk 2023 | 250,172 |
$107.352 | |
IPM (2018) | ![]() sedang |
Mata uang | Kina Bougainville |
Zona waktu | Waktu Standar Bougainville (UTC+11) |
Kode telepon | +675 |
Bougainville (/ˈboʊɡənvɪl/ [3] Tok Pisin: Bogenvil[4][5]), yang sebelumnya bernama Solomon Utara atau secara resmi bernama Provinsi Otonom Bougainville adalah sebuah provinsi otonom di Papua Nugini. Pulau terbesar di wilayah ini adalah Pulau Bougainville (yang termasuk dalam Kepulauan Solomon). Ibu kota provinsi ini untuk sementara Buka, meskipun diharapkan Arawa akan menjadi calon ibu kota baru.
Pada tahun 2011, wilayah ini memiliki perkiraan populasi 250.000 orang. Bahasa sehari-hari di Bougainville adalah Tok Pisin, yang merupakan varietas dari rumpun bahasa Austronesia dan rumpun bahasa non-Austronesia juga digunakan. Wilayah ini mencakup beberapa bahasa daerah lainnya yang di mana rumpun bahasa Polinesia digunakan. Secara geografis pulau Bougainville dan Buka merupakan bagian dari Kepulauan Solomon, tetapi secara politik terpisah dari negara merdeka Kepulauan Solomon. Secara historis wilayah itu dikenal sebagai Solomon Utara.
Bougainville telah dihuni oleh manusia setidaknya selama 29.000 tahun. Selama masa kolonial wilayah ini diduduki dan dikelola oleh Jerman, Australia, Jepang, dan Amerika untuk berbagai periode. Nama wilayah ini berasal dari laksamana Prancis Louis Antoine de Bougainville,[6] yang mengunjungi pulau ini pada tahun 1768.
Separatisme Bougainville dimulai pada tahun 1960-an dan Republik Solomon Utara dideklarasikan sesaat sebelum kemerdekaan Papua Nugini pada tahun 1975; itu dimasukkan ke Papua Nugini pada tahun berikutnya. Konflik tambang Panguna menjadi pemicu utama Perang Saudara Bougainville (1988-1998), yang mengakibatkan kematian hingga 20.000 orang. Sebuah kesepakatan damai menghasilkan pembentukan Pemerintah Otonom Bougainville.
Pada akhir 2019, referendum kemerdekaan yang tak mengikat diadakan dengan 98,31% memilih kemerdekaan daripada melanjutkan otonom di dalam Papua Nugini. Akibatnya, otoritas regional berniat untuk merdeka pada akhir 2027, menunggu ratifikasi oleh pemerintah Papua Nugini.[7][8][9]