Kajian mengenai dampak globalisasi terhadap kaum wanita di Tiongkok mempelajari peran dan status hubungan wanita Tiongkok terhadap perubahan politik dan budaya yang terjadi pada abad ke-20 sebagai konsekuensi dari globalisasi. Globalisasi merujuk kepada interaksi dan integrasi penduduk, produk, budaya, dan pemerintah dengan berbagai negara di seluruh dunia; hubungan ini dipupuk oleh perdagangan, investasi, dan teknologi informasi.[1][2] Globalisasi memengaruhi hak asasi wanita dan hierarki gender di Tiongkok dalam ranah kehidupan pribadi seperti pernikahan dan primogenitur serta di tempat kerja. Perubahan ini mengubah mutu hidup dan ketersediaan peluang wanita pada waktu yang berbeda-beda sepanjang proses globalisasi modern.
Dinamika ketaksetaraan gender berhubungan dengan prinsip ideologis yang digunakan oleh suatu kekuasaan politik yang berjalan. Zaman kekaisaran didominasi oleh paradigma sosial Konfusianisme, yang merupakan falsafah pokok di negara-negara lingkungan kebudayaan Asia Timur. Falsafah ini menekankan moral, jati diri, hubungan sosial, dan status quo.[3] Kong Hu Cu mengajarkan jen (kemanusian) dan persamaan seluruh manusia;[4] Neo-Konfusianis dan kaisar menggunakan keyakinan mereka dalam hierarki sosial, terutama pada pengaturan keluarga, untuk menekan kehidupan fisik dan sosial wanita. Ketika pemerintah Tiongkok mulai berasimilasi kembali ke dalam masyarakat global pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, negara ini bergeser dari falsafah Konfusianisme konvensional dan peran wanita dalam masyarakat juga berubah. Sesudah Mao Zedong mendirikan Republik Rakyat Tiongkok pada 1949, perubahan dalam peran gender tradisional muncul. Kematian Mao menandakan reformasi politik besar-besaran pada bidang pemerintahan, dan terjangkaunya hubungan internasional lewat komunikasi dalam bidang perdagangan, politik, dan gagasan sosial.[5] Sejak 1980-an, di bawah partai komunis yang telah direformasi, gerakan hak asasi wanita telah mendapatkan momentumnya dan menjadi isu nasional sekaligus sebagai pertanda modernisasi di Tiongkok.
Di kawasan pedesaan, secara tradisional wanita bekerja bersama keluarga mereka untuk mendapatkan hasil pertanian seperti teh dan beras. Di kawasan perkotaan, wanita bekerja di pabrik-pabrik, dan tinggal jauh dari rumah. Kebanyakan buruh pabrik ini merupakan gadis yang mengirim sebagian dari pendapatannya kepada keluarga mereka. Untuk membantu meningkatkan hak asasi wanita di pabrik, persatuan dan serikat buruh dibentuk. Di rumah, wanita berperan sebagai ibu yang merawat anaknya, memasak, dan melakukan kegiatan rumah tangga lainnya. Di perkotaan, wanita yang bekerja memiliki pergeseran tugas dari domestik ke publik, sehingga memiliki alternatif untuk menata ulang tugas dalam rumah tangga, misalnya wanita yang bekerja dan memiliki tambahan penghasilan dapat mengajak "orang yang membantu"" atau menjadi asisten rumah tangga untuk menggantikan peran domestik yang tidak dilaksanakannya.