Artikel atau bagian artikel ini diterjemahkan secara buruk. |
Artikel atau bagian dari artikel ini diterjemahkan dari Mount Tambora di en.wikipedia.org. Terjemahannya masih terlalu kaku, kemungkinan besar karena kalimat Inggrisnya diterjemahkan kata-per-kata. Maka dari itu, terjemahan di artikel ini masih memerlukan penyempurnaan. Pengguna yang mahir dengan bahasa yang bersangkutan dipersilakan untuk menelusuri referensinya dan menyempurnakan terjemahan ini, atau Anda juga dapat ikut bergotong royong dalam ProyekWiki Perbaikan Terjemahan. (Pesan ini dapat dihapus jika terjemahan dirasa sudah cukup tepat. Lihat pula: panduan penerjemahan artikel) |
Gunung Tambora | |
---|---|
Titik tertinggi | |
Ketinggian | 2.850 m (9.350 ft) |
Koordinat | 8°15′0″S 118°0′0″E / 8.25000°S 118.00000°E |
Geografi | |
Letak | Semenanjung Sanggar, Sumbawa |
Daerah | Kabupaten Dompu dan Bima, Nusa Tenggara Barat, Indonesia |
Geologi | |
Usia batuan | Pleistosen Akhir—Holosen |
Jenis gunung | Gunung berapi kerucut trakibasalt-trakiandesit |
Busur vulkanik | Busur Sunda / Sabuk alpida |
Letusan terakhir | 1967[1] |
Pendakian | |
Pendakian pertama | Agustus 1847, oleh Henrich Zollinger[2] |
Gunung Tambora (atau Tomboro) adalah sebuah gunung berapi kerucut aktif yang terletak di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Gunung ini terletak di dua kabupaten yaitu Kabupaten Dompu yang mencakup lereng bagian barat dan selatan dan Kabupaten Bima yang mencakup lereng bagian timur dan utara. Gunung Tambora merupakan salah satu gunung tunggal (terpisah dari pegunungan) terluas di Indonesia, yang bertipikal seperti Gunung Slamet di Jawa Tengah. Gunung ini terbentuk akibat zona subduksi aktif di bawahnya. Pada masa lampau, ketinggian Gunung Tambora mencapai sekitar 4.300 m[3] yang membuat gunung ini menjadi salah satu puncak tertinggi di Indonesia di masa lalu.
Aktivitas vulkanis gunung berapi ini memuncak dengan letusan pada April 1815 yang mencapai skala tujuh VEI.[4] Letusan tersebut menjadi letusan vulkanis terbesar sejak letusan Taupo pada tahun 181.[5] Suara letusan tercatat terdengar hingga pulau Sumatra lebih dari 2.000 km ke barat. Hujan abu vulkanis terjadi di Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Maluku. Letusan tersebut menelan korban jiwa sedikitnya 71.000 orang dengan 11.000—12.000 di antaranya merupakan korban langsung dari letusan.[5] Beberapa peneliti memperkirakan jumlah korban jiwa mencapai 92.000 orang, tetapi angka ini diragukan karena dinilai terlalu besar.[6] Letusan tersebut juga menyebabkan perubahan iklim dunia saat itu. Tahun berikutnya (1816) sering disebut sebagai tahun tanpa musim panas dengan adanya perubahan cuaca drastis di Amerika Utara dan Eropa akibat debu yang dihasilkan dari letusan. Peristiwa tersebut menyebabkan kegagalan panen dan kematian ternak massal yang pada gilirannya menyebabkan wabah kelaparan terburuk pada abad ke-19.[5]
Pada sebuah ekskavasi tahun 2004 di wilayah Gunung Tambora, sekelompok arkeolog menemukan sisa kebudayaan yang terkubur 3 meter di bawah endapan piroklastik dari letusan tahun 1815. Temuan ini sering disebut sebagai Pompeii dari Timur akibat kemiripannya dengan Kota Pompeii di Italia yang terkubur material letusan vulkanis.[7]