Hak menentukan nasib sendiri (bahasa Inggris: right to self-determination) adalah hak setiap orang untuk ara bebas menentukan kehendaknya sendiri, khususnya dalam hal prinsip mengenai status politik dan kebebasan mengejar kemajuan di bidang ekonomi, sosial, serta budaya. Kepentingan akan menentukan nasib sendiri, oleh sebab itu terletak pada adanya kebebasan dalam membuat pilihan.[1] Namun demikian, dewasa ini, penggunaan menentukan nasib sendiri lebih mengacu pada hak untuk menentukan nasib politik. Namun dalam acuan tersebut, tidak ada kriteria hukum yang menjelaskan siapa orang/pihak yang dimaksud, atau kelompok mana yang dapat secara sah membuat klaim terhadap hak tersebut dalam kasus tertentu, yang menjadikannya salah satu di antara isu kompleks yang dihadapi para pembuat kebijakan.[2]
Istilah right to self determination atau hak untuk menentukan nasib sendiri mendapat perhatian yang cukup besar di Indonesia pada proses penyelesaian konflik yang sangat sensitif, termasuk peristiwa referendum Timor Timur pada tahun 1999 dan perundingan Aceh yang kemudian melahirkan Otonomi Khusus.[3] Pada mulanya prinsip menentukan nasib sendiri merupakan pedoman dalam pembangunan ulang Eropa pasca-Perang Dunia I.[1] Ketika sistem Eropa terdahulu mulai hancur setelah berakhirnya Perang Dunia I, prinsip menentukan nasib sendiri mendapat pembelaan dari tokoh internasional yang memiliki landasan ideologi berbeda, yakni Vladimir Lenin (dari 1903 sampai 1917)[4][5] dan presiden Woodrow Wilson (pada 1918)[4].[6] Pidato Lenin bersifat lebih universal, meskipun pada akhirnya kurang berpengaruh. Sebaliknya, 14 Pokok Wilson menguraikan sejumlah prinsip berkenaan dengan menentukan nasib sendiri,[7] namun hanya diterapkan untuk orang-orang Eropa,[8] dimana gagasan menentukan nasib sendiri tersebut berkembang secara berbeda di Eropa Tengah dan Eropa Timur, dengan di Eropa barat.[9] Berkembangnya negara-negara modern di Eropa, dan meningkatnya kesadaran nasional yang tengah populer di masa itu, meningkatkan status ‘menentukan nasib sendiri’ sebagai prinsip politik.[2]
Lingkup prinsip menentukan nasib sendiri dianalisis oleh dua kelompok ahli internasional yang ditunjuk oleh League of Nations (liga bangsa-bangsa – LBB) untuk memeriksa kasus pulau Aland, wilayah yang secara budaya dan bahasa termasuk wilayah orang-orang Swedia, dan wilayah tersebut menginginkan kembali bersatu dengan pulau induk Swedia daripada tetap menjadi bagian negara Finlandia yang baru merdeka dari kekaisaran Rusia pada Desember 1917.[10] Kelompok ahli yang pertama berpendapat bahwa menentukan nasib sendiri jelas tidak mendapat status hukum internasional karena meskipun prinsip menentukan nasib sendiri berperan penting dalam pandangan politik modern, terutama sejak Perang Dunia I, prinsip ini tidak ditemukan dalam perjanjian LBB.[7] Pengakuan prinsip menentukan nasib sendiri pada sejumlah perjanjian internasional tertentu tidak dapat dianggap cukup untuk prinsip ini dapat diletakkan pada kaki yang sama dengan peraturan positif Hukum Bangsa-Bangsa (Law of Nations).[11] Kelompok ahli kedua mencapai simpulan yang hampir serupa dengan lingkup menentukan nasib sendiri kelompok pertama, mengistilahkannya sebagai “sebuah prinsip keadilan dan kebebasan yang diekspresikan dalam formula yang samar-samar dan umum, sehingga menimbulkan bermacam-macam interpretasi dan pendapat yang berbeda-beda.”[12]