Terjemahan dari saddhā | |
---|---|
Indonesia | keyakinan, iman |
Inggris | faith, confidence |
Pali | saddhā |
Sanskerta | śraddhā |
Tionghoa | 信(T&S) (Pinyin: xìn) |
Jepang | 信 (rōmaji: shin) |
Korea | 믿음 (RR: sin-eum) |
Tibetan | དད་པ (Wylie: dad pa THL: dat pa) |
Bengali | শ্রাদ্ধের |
Thai | ศรัทธา (RTGS: satthaa) |
Vietnam | đức tin |
Sinhala | ශ්රද්ධ |
Daftar Istilah Buddhis |
Bagian dari seri tentang |
Buddhisme |
---|
Bagian dari Abhidhamma Theravāda |
52 Cetasika |
---|
Buddhisme Theravāda |
Dalam Buddhisme, keyakinan (Pali: saddhā; Sanskerta: śraddhā), terkadang juga disebut sebagai iman meskipun dengan konsep yang sangat berbeda dari tradisi agama-agama Abrahamik, mengacu pada keyakinan terhadap Triratna, yaitu Buddha, Dhamma, dan Saṅgha. Keyakinan tidak hanya terhadap suatu tokoh, tetapi juga terkait dengan konsep-konsep dalam ajaran Buddha seperti efikasi karma dan kemungkinan mencapai kecerahan. Keyakinan dipandang sebagai komitmen untuk mempraktikkan ajaran Buddha, seperti bederma (dāna), moralitas (sīla), dan meditasi (bhāvanā) secara berkelanjutan.
Dalam Buddhisme awal dan aliran Theravāda, saddhā dipusatkan pada keyakinan terhadap kecerahan Buddha (tathāgatabodhi-saddhā) atau, secara alternatif, terhadap Triratna (ratanattaya-saddhā):[1][2][3][4][5]
Pada jenis klasifikasi di atas, keyakinan terhadap hukum karma merupakan bagian dari keyakinan terhadap Dhamma. Akan tetapi, beberapa bagian kitab suci juga secara spesifik merincikan keyakinan terhadap kepemilikan karma (kammassakatā-saddhā), yaitu meyakini bahwa semua makhluk bertanggung jawab atas perbuatan dan akibatnya masing-masing, sebagai dua poin tambahan:
Kitab komentar untuk Abhidhamma Piṭaka milik aliran Theravāda menjelaskan definisi saddhā sebagai suatu faktor mental dalam empat batasan:[6]
Keyakinan adalah faktor mental yang memercayai (saddahati) objek. Faktor-mental keyakinan dalam Buddhisme bukanlah kepercayaan yang sepenuhnya memerlukan kepatuhan buta (amūlika-saddhā) dengan mengesampingkan fakta, investigasi, dan kebijaksanaan. Seseorang juga tidak akan bisa menyakiti makhluk lain atas dasar keyakinannya.[6]
Tradisi Abhidhamma Theravāda juga menguraikan saddhā menjadi dua jenis:[6]
Konsep saddhā erat kaitannya dengan konsep "menjaga atau melestarikan kebenaran" (saccānurakkhaṇa) dan "mengalami kebenaran" (saccānubodha) yang dijelaskan dalam Caṅkī Sutta (MN 95). Penjagaan atau pelestarian kebenaran dilakukan dengan tidak menyimpulkan "hanya ini saja yang benar, yang lainnya salah," sebelum mengalami kebenaran secara langsung.[6]
Secara tradisional, pernyataan keyakinan ditunjukkan dengan pengambilan perlindungan kepada Triratna dalam syair "Tiga Perlindungan" (Tisaraṇa):
Buddhaṁ saraṇaṁ gacchāmi, |
Aku berlindung kepada Buddha |
—Khuddakapāṭha 1, Khuddaka Nikāya |
Seorang umat awam yang berlindung kepada Triratna disebut upāsaka atau upāsika, sedangkan yang tidak berlindung kepada Triratna disebut titthiya.
Sementara itu, Buddhisme awal secara moral tidak mengecam pemberian persembahan secara damai kepada brahma dan dewa-dewi. Sepanjang sejarah Buddhisme, pemujaan brahma dan dewa-dewi, sering kali berasal dari keyakinan pra-Buddhis dan animis, kemudian disesuaikan menjadi praktik dan kepercayaan Buddhis. Sebagai bagian dari proses itu, brahma dan dewa-dewi tersebut dinyatakan sebagai bawahan dari Triratna, yang masih terus memegang peran utama.
Pada masa berikutnya dalam sejarah Buddhisme, khususnya Buddhisme Mahāyāna, keyakinan memiliki peran yang jauh lebih penting. Aliran Mahāyāna memperkenalkan bakti kepada para Buddha dan Bodhisatwa yang berada di Tanah Murni. Dengan berkembangnya bakti kepada Buddha Amitābha dan Buddhisme aliran Tanah Murni, keyakinan memperoleh peran utama dalam praktik Buddhisme. Buddhisme aliran Tanah Murni versi Jepang, yang dipimpin oleh Hōnen dan Shinran, bahkan meyakini bahwa satu-satunya praktik yang bermanfaat bagi umat Buddha adalah keyakinan penuh kepercayaan kepada Buddha Amitābha, karena aliran tersebut menganggap selibasi, meditasi, dan praktik Buddhis lainnya sebagai praktik yang tidak lagi mujarab atau bertolak belakang dengan sifat utama keyakinan. Sementara itu, Buddhis Tanah Murni pada umumnya mengartikan keyakinan sebagai sebuah keadaan yang mirip dengan pencerahan. Dampak keyakinan dalam religiositas umat Buddhis kemudian menjadi sangat penting dalam gerakan-gerakan milenarian di beberapa negara Buddhis, yang terkadang mengakibatkan kehancuran dinasti-dinasti kerajaan dan perubahan politik penting lainnya.
Dengan demikian, peran keyakinan terus meningkat sepanjang sejarah Buddhisme. Namun, semenjak abad ke-19, modernisme Buddhis di negara-negara seperti Sri Lanka dan Jepang (dan juga di dunia Barat) cenderung memandang rendah dan mengkritik peran keyakinan dalam Buddhisme. Keyakinan dalam Buddhisme masih memiliki peran di Asia dan negara-negara Barat pada zaman modern, tetapi dipahami dan diartikan secara berbeda, dengan nilai-nilai modern dan eklektisisme menjadi lebih penting. Di sisi lain, komunitas Buddhis Dalit, khususnya gerakan Nawayana, menafsirkan konsep-konsep Buddhis melalui sudut pandang keadaan politik kaum Dalit, dan dalam gerakan tersebut terdapat ketegangan antara rasionalisme modern dengan praktik kebaktian setempat.
<ref>
tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama :0