Letusan Krakatau 1883 | |
---|---|
Gunung api | Krakatau |
Tanggal mulai | 20 Mei 1883 |
Tanggal selesai | 21 Oktober 1883 |
Jenis | Ultra Plinian |
Lokasi | Kepulauan Krakatau, Hindia Belanda (sekarang Indonesia) 6°06′07″S 105°25′23″E / 6.102°S 105.423°E |
VEI | 6 |
Dampak | 36,417 tewas Letusan besar terakhir terdengar hingga 3.000 mil jauhnya; 20 juta ton sulfur dilepaskan ke atmosfer; menyebabkan musim dingin vulkanik (mengurangi suhu di seluruh dunia dengan rata-rata 1.2 °C selama 5 tahun) |
Peta Krakatau setelah letusan 1883, menunjukkan perubahan geografi. |
Letusan Krakatau 1883 terjadi di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), yang bermula pada tanggal 27 Agustus 1883 (dengan gejala pada awal Mei) dan berpuncak dengan letusan hebat yang meruntuhkan kaldera. Pada tanggal 20 Mei 1883, dan letusan besar terjadi pada 27 Agustus 1883, dua pertiga bagian Krakatau runtuh dalam sebuah letusan berantai, melenyapkan sebagian besar pulau di sekelilingnya. Aktivitas seismik tetap berlangsung hingga Februari 1884. Letusan ini adalah salah satu letusan gunung api paling mematikan dan paling merusak dalam sejarah, setelah Letusan Tambora 1815, menimbulkan setidaknya 36.417 korban jiwa akibat letusan dan tsunami yang dihasilkannya. Dampak letusan ini juga bisa dirasakan di seluruh penjuru dunia.
Letusan ini adalah salah satu peristiwa gunung berapi paling mematikan dan paling merusak dalam sejarah. Letusan ini adalah salah satu ledakan dengan suara paling keras yang pernah tercatat, dan terdengar setidaknya 3.000 mil (4.800 km) jauhnya. Letusan ini menimbulkan megatsunami ketika menghantam perairan Selat Sunda.[1] Ketinggian gelombang mencapai hingga 24 meter (79 kaki) di sepanjang pantai selatan Sumatra dan hingga 42 meter (138 kaki) di sepanjang pantai barat Jawa. Tsunami membawa batu karang raksasa seberat 50 ton. Seluruh hutan tumbang dan hanyut, hingga hanya menyisakan akarnya saja. Tsunami datang setelah air laut surut, dan disertai suara yang memekakkan telinga.
Peristiwa ini menyebabkan musim dingin vulkanik selama 5 tahun lamanya. Gelombang tekanan akustik mengelilingi dunia lebih dari tiga kali.[2] Dampak tambahan yang signifikan dirasakan di seluruh dunia dalam beberapa hari dan minggu setelah letusan gunung berapi. Aktivitas seismik tambahan dilaporkan hingga Februari 1884, namun laporan apa pun setelah Oktober 1883 ditolak oleh penyelidikan selanjutnya oleh Rogier Verbeek terhadap letusan tersebut.
Sebenarnya jauh sebelum 1883, Krakatau juga pernah meletus pada tahun 416 sebelum Masehi, diikuti beberapa letusan pada abad ke-3, 9, 10, 11, 12, 14, 16, dan 17 yang diikuti dengan tumbuhnya kerucut Rakata dan Danan.[3]