Mohammad Natsir | |
---|---|
Perdana Menteri Indonesia ke-5 | |
Masa jabatan 5 September 1950[1] – 26 April 1951[2] | |
Presiden | Soekarno |
Menteri Penerangan Indonesia ke-2 | |
Masa jabatan 12 Maret 1946 – 26 Juni 1947 | |
Presiden | Soekarno |
Masa jabatan 29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949 | |
Presiden | Soekarno |
Informasi pribadi | |
Lahir | Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Solok, Hindia Belanda | 17 Juli 1908
Meninggal | 6 Februari 1993 Jakarta, Indonesia | (umur 84)
Kebangsaan | Indonesia |
Partai politik | Masyumi (Masyumi) |
Suami/istri | Nurnahar
(m. 1934; meninggal 1991) |
Anak | 6 |
Profesi | Politikus |
Penghargaan | |
Sunting kotak info • L • B |
Dr. (H.C.) H. Mohammad Natsir (17 Juli 1908 – 6 Februari 1993) adalah seorang ulama, politikus, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan tokoh Islam terkemuka Indonesia. Di dalam negeri, ia pernah menjabat menteri dan Perdana Menteri Indonesia, sedangkan di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim Dunia (World Muslim League) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.
Natsir lahir dan dibesarkan di Solok, sebelum akhirnya pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA dan kemudian mempelajari ilmu Islam secara luas di perguruan tinggi. Ia terjun ke dunia politik pada pertengahan 1930-an dengan bergabung di partai politik berideologi Islam. Pada 5 September 1950, ia diangkat sebagai Perdana Menteri Indonesia kelima. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena berselisih paham dengan Presiden Soekarno, ia semakin vokal menyuarakan pentingnya peranan Islam di Indonesia. Natsir kemudian terlibat pemberontakan PRRI, yang membuatnya sempat dipenjara. Setelah dibebaskan pada tahun 1966, Natsir terus mengkritisi pemerintah yang saat itu telah dipimpin Soeharto hingga membuatnya dicekal.
Natsir banyak menulis tentang pemikiran Islam. Ia aktif menulis di majalah-majalah Islam setelah karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929; hingga akhir hayatnya ia telah menulis sekitar 45 buku dan ratusan karya tulis lain. Ia memandang Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia. Ia mengaku kecewa dengan perlakuan pemerintahan Soekarno dan Soeharto terhadap Islam. Selama hidupnya, ia dianugerahi tiga gelar doktor honoris causa, satu dari Lebanon dan dua dari Malaysia. Pada tanggal 10 November 2008, Natsir dinyatakan sebagai pahlawan nasional Indonesia. Natsir dikenal sebagai menteri yang "tak punya baju bagus, jasnya bertambal. Dia dikenang sebagai menteri yang tak punya rumah dan menolak diberi hadiah mobil mewah."