Ogoh-ogoh (Bali: ᬳᭀᬕᭀᬳᭀᬕᭀᬄ) adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang umumnya diarak saat Pengrupukan, tradisi Hindu Bali yang dilaksanakan untuk menyambut Hari Raya Nyepi (Tahun Baru Saka). Tradisi tersebut merupakan bagian dari prosesi Tawur Kesanga, ritual Hindu Bali untuk menetralisir kekuatan negatif di alam sekitar dan "mendamaikan" makhluk-makhluk alam bawah menjelang pergantian Tahun Saka. Dalam pawai saat Pengrupukan, ogoh-ogoh merupakan lambang keburukan sifat-sifat manusia atau negativitas di alam. Maka setelah pawai selesai, ogoh-ogoh akhirnya dibakar sebagai representasi pengenyahan sifat-sifat tadi. Pembakaran biasanya di lapangan kuburan desa.[1]
Ogoh-ogoh pada umumnya dibuat di setiap banjar, yaitu komunitas tradisional masyarakat Bali setingkat Rukun Warga. Sosok Butakala, yaitu makhluk jejadian atau penghuni "alam bawah" dalam kepercayaan Hindu merupakan tema ogoh-ogoh yang umum dan dianggap mencirikan kualitas negatif dalam diri manusia, meskipun pada masa kini banyak ogoh-ogoh yang berbentuk hewan mitologis, tokoh-tokoh pewayangan atau sastra Hindu, bahkan dewa-dewi Hindu. Ogoh-ogoh dapat dibuat dalam bentuk individu, berpasangan, maupun berkelompok. Bahan pembuatan yang lazim ialah bambu atau rotan yang dijalin—atau bahkan stirofoam—kemudian dilapisi dengan kertas. Proses pembuatannya memakan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan tergantung pada tingkat kerumitan dan tenaga penggarapnya.
Tradisi ogoh-ogoh seperti yang dikenal sekarang ini merupakan kebudayaan yang relatif baru. Diperkirakan bahwa tradisi ini berkembang pada dasawarsa 1980-an, meskipun pada tahun-tahun sebelumnya ogoh-ogoh sudah ada, tetapi masih dalam bentuk yang sangat sederhana dan belum dikenal secara luas. Tradisi lelakut, patung pelebonan, hingga Barong Landung ditengarai sebagai akar tradisi dan inspirasi bagi perkembangan awal ogoh-ogoh. Saat ini, ogoh-ogoh menjadi ciri khas penyambutan Nyepi dan dilombakan hampir setiap tahun di Bali dalam tingkat yang berbeda-beda.
Di luar Bali, tradisi ogoh-ogoh juga dilaksanakan di daerah-daerah dengan jumlah umat Hindu yang signifikan (terutama yang merayakan Nyepi), seperti Jawa Timur, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan lain-lain. Di daerah-daerah tersebut, pawai ogoh-ogoh dimaknai sebagai bentuk kerukunan antarumat beragama, dan partisipasi tidak terbatas kepada umat Hindu saja. Selain kota-kota di luar Bali, ogoh-ogoh juga dipertunjukkan dalam beberapa pawai budaya di luar negeri.