Operasi Madago Raya | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Bagian dari Operasi Anti-Terorisme di Indonesia | |||||||
Korps Brigade Mobil di Kecamatan Poso Pesisir Kabupaten Poso pada 8 April 2016 | |||||||
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Indonesia
PBB |
Mujahidin Indonesia Timur (2016–22):
| ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
Pasukan | |||||||
| Tidak ada unit khusus | ||||||
Kekuatan | |||||||
± 3.000 dari |
41+ 18[3] (Juli 2016) 14[4] (Agustus 2016) 11 (September 2016) 10 (Oktober 2016) 9 (November 2016) 7 (Mei 2017) 10 (Desember 2018) 14 (Januari 2019) 9 (Maret 2019) 10 (November 2019) 15 (April 2020) 11 (November 2020) 9 (Maret 2021) 6 (Juli 2021) 3 (September 2021) 1 (Mei 2022) 0 (September 2022) | ||||||
Korban | |||||||
18 tewas (15 tentara, 3 polisi) 1 Helikopter Jatuh |
51 tewas 19 menyerah dan ditangkap |
Operasi Madago Raya,[5] sebelumnya bernama Operasi Tinombala adalah operasi gabungan polisi-militer yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia untuk menangkap dan/atau membunuh anggota Mujahidin Indonesia Timur (MIT), kelompok teroris Indonesia yang mendukung ISIS dan dipimpin oleh Santoso. Pada tahun 2016, TNI dan Polri berhasil membunuh Santoso, tetapi Kapolri saat itu Tito Karnavian melanjutkan operasi untuk memastikan keamanan kawasan dari anggota kelompok yang tersisa.[6] Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola memuji operasi tersebut karena metodenya yang relatif manusiawi, karena beberapa pemimpin kelompok berhasil ditangkap hidup-hidup. Namun hanya 19 militan yang ditangkap hidup-hidup, sementara lebih dari 40 tewas.[7]
Mulai Oktober 2022, operasi diperpanjang hingga Desember 2022,[8] dan operasi saat ini sedang menjalani fase penghentian.[9] Mulai Januari 2023, tujuan operasi diubah untuk memulihkan ketertiban sipil dan merehabilitasi masyarakat dari kerusakan yang disebabkan oleh kelompok dan operasinya.[10]