Pangan versus bahan bakar adalah dilema yang terkait dengan produksi bahan bakar hayati. Dimana produksi bahan bakar hayati dapat mempengaruhi suplai pangan. Perdebatan ini merupakan perdebatan yang panjang tentang topik yang kontroversial.[1][2][3][4] Topik tentang pentingnya permasalahan ini, penyebab, dan bagaimana menanganinya masih banyak diperdebatkan. Rumitnya dan tidak jelasnya permasalahan ini disebabkan oleh sejumlah besar dampak dan timbal balik yang dapat mempengaruhi sistem harga. Timbal balik yang ditimbulkan dapat bersifat positif maupun negatif. Juga, timbal baliknya berbeda untuk jangka panjang dan jangka pendek. Dan juga permasalahan ini memiliki dampak yang tertunda. Penggunaan berbagai model ekonomi dalam analisis strategi bisnis dapat menimbulkan pendapat yang berbeda.[5]
Pendapat bahwa ketahanan energi melalui pengembangan bahan bakar nabati akan mengancam ketahanan pangan ada benarnya ketika bahan pangan yang jumlahnya terbatas dijadikan sebagai bahan sumber energi. Namun, hal tersebut tidak valid ketika bahan pangan tersebut bukan bahan pangan utama dan ada dalam jumlah yang jauh melebihi kebutuhan sebagai bahan pangan. Tentu saja bahan bakar nabati juga dapat dikembangkan dari bahan non-pangan untuk mengatasi isu tersebut.[6] Kenaikan harga pangan akibat permintaan untuk biofuel akan berdampak negatif pada penduduk miskin yang di dunia jumlahnya mencapai lebih dari 2 miliar orang. Mereka bakal terancam kelaparan.[7]
Bahan bakar hayati, atau biofuel, banyak menjadi pilihan di berbagai negara, khususnya untuk mengurangi ketergantungan minyak dan juga untuk menurunkan tingkat emisi. Produksinya di proyeksikan akan meningkat sekitar 7,5% dari 156 juta KL (2007) menjadi sekitar 167,8 juta KL (2025). Diproyeksikan, sekitar 55% produksi etanol global berasal dari jagung dan sekitar 26% berasal dari tebu. Sedangkan biodiesel yang berasal dari minyak sayur bekas sebesar 20% dan sisanya dari komoditas seperti kelapa sawit dan kedelai. Meningkatnya produksi dan pemintaan biofuel dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap harga bahan makanan. Bahan baku biofuel adalah komoditas pertanian seperti jagung, kedelai, kelapa sawit, dan tebu. Tanpa adanya permintaan biofuel, harga komoditas tersebut sudah merangkak naik akibat didorong oleh permintaan untuk bahan makanan serta bahan baku barang konsumsi yang meningkat seiring pertumbuhan ekonomi dan tingkat populasi global.[8]
Peningkatan produksi bahan bakar hayati, dan peningkatan terkait produksi bahan baku energi, menimbulkan masalah keberlanjutan pada isu-isu seperti penggunaan lahan, kompetisi antara tanaman energi dengan tanaman pangan, dan dampak terhadap ekosistem, termasuk sumberdaya air dan tanah. Tumbuhan yang sesuai sebagai bahan baku bioenergi adalah tanaman yang memiliki hasil panen yang tinggi, cepat tumbuh, memerlukan masukan energi yang relatif kecil untuk tumbuh dan di panen, dan mudah dikonversi menjadi bentuk yang berguna. Untuk mencapai keberlanjutan, tanaman energi harus tidak membutuhkan penggunaan lahan agrikultur utama secara ekstensif, dan harus memiliki harga produksi energi dari biomassa yang rendah.[9]
Bahan baku biomassa untuk produksi biofuel generasi pertama diantaranya adalah tebu, jagung, gandum, kedelai, dan rapeseed. Bahan baku generasi kedua ialah bahan baku lignoselulosa, seperti residu biomasssa, limbah organik dan tanaman khusus penghasil lignoselulosa, serta bahan baku minyak non-pangan seperti minyak jelantah, lemak hewani dan tanaman khusus penghasil minyak. Bahan baku generasi ketiga berasal dari mikroalga.[10]