Perang Diponegoro | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Lukisan Peristiwa Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Raden Saleh | |||||||
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
| |||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
Kekuatan | |||||||
50.000 | 100.000 | ||||||
Korban | |||||||
15.000 |
Serdadu Jawa: 20,000 tewas dalam perang[2] | ||||||
Milisi dan sipil: 200.000 korban jiwa [3][4] |
Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa (Inggris: Java War, Belanda: De Java Oorlog) adalah perang besar dan berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Perang ini melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock yang berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Akibat perang ini, penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 jiwa, sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi. Akhir perang menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa.[5]
Berkebalikan dari perang yang dipimpin oleh Raden Ronggo sekitar 15 tahun sebelumnya, pasukan Jawa juga menempatkan masyarakat Tionghoa di tanah Jawa sebagai target penyerangan. Namun, meskipun Pangeran Diponegoro secara tegas melarang pasukannya untuk bersekutu dengan masyarakat Tionghoa, sebagian pasukan Jawa yang berada di pesisir utara (sekitar Rembang dan Lasem) menerima bantuan dari penduduk Tionghoa setempat yang rata-rata beragama Islam.[5]