Artikel ini membahas suatu peristiwa terkini. Informasi pada halaman ini dapat berubah setiap saat seiring dengan perkembangan peristiwa dan laporan berita awal mungkin tidak dapat diandalkan. Pembaruan terakhir untuk artikel ini mungkin tidak mencerminkan informasi terkini. |
Perang Saudara Suriah | ||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Bagian dari Musim Semi Arab, Musim Dingin Arab, dan konflik kawasan seperti Perang melawan ISIS, konflik Kurdi-Turki, Iran-Israel, serta proxy war antara Iran dan Arab Saudi. | ||||||||||||
Situasi militer pada 29 Januari 2025, Hijau adalah Pemerintah dan Kuning adalah Kurdi. | ||||||||||||
| ||||||||||||
Pihak terlibat | ||||||||||||
|
Amerika Serikat (Wilayah Al-Tanf)
| |||||||||||
Tokoh dan pemimpin | ||||||||||||
Bashar al-Assad | Ahmed al-Sharaa | Hediya Yousef | Donald Trump | Benyamin Netanyahu | ||||||||
Kekuatan | ||||||||||||
550.000+ Pasukan
|
200.000 Pasukan termasuk Turki
|
150.000 Pasukan
| 2.000-4.000 Pasukan Amerika dan 75.000 Pasukan FSA |
22.000-44.000 Pasukan Israel (2 Brigade)
| ||||||||
Korban | ||||||||||||
40.000-50.000 Pasukan Pemerintah termasuk warga sipil pro-assad | 100.000+ Pasukan Anti-pemerintah Assad termasuk warga sipil anti-Assad | 50.000 Pasukan Kurdi tewas | 30-40 Prajurit Amerika dan beberapa pesawat hancur dan 25.000 Pasukan FSA Tewas | 200 Pasukan Israel Tewas | ||||||||
Kematian Warga Sipil: 580.000+ |
Perang saudara Suriah (bahasa Arab: ٱلْحَرْبُ ٱلْأَهْلِيَّةُ ٱلسُّورِيَّةُ, translit. al-ḥarb ul-ʾahlīyyat us-sūrīyyah) adalah sebuah konflik bersenjata berbagai pihak dengan intervensi internasional[1] yang berlangsung di Suriah. Kerusuhan tumbuh sejak protes kebangkitan dunia Arab tahun 2011, dan meningkat ke konflik bersenjata setelah kekerasan atas protes kepada Pemerintah Presiden Bashar al-Assad untuk menekan pengunduran dirinya.[2] Perang melibatkan Pasukan Pemerintah Bashar al-Assad, Tentara Pembebasan Suriah , Pasukan Demokratik Suriah, Mujahidin (termasuk Front al-Nusra), dan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS). Kebanyakan pihak menerima dukungan besar dari aktor asing, dan banyak yang mengarahkan untuk melabelinya sebagai perang proksi yang dilancarkan oleh negara-negara besar regional dan dunia.[3][4][5]
Di bawah rezim Assad, Suriah melalui reformasi ekonomi neoliberal yang signifikan. Reformasi ini diperburuk kesenjangan kekayaan, yang dikombinasikan dengan resesi dan beberapa tahun kekeringan yang menyebabkan penyebaran kebangkitan dunia Arab untuk Suriah. Protes cepat menyebar ke daerah-daerah yang didominasi Kurdi di utara Suriah.
Kelompok oposisi Suriah membentuk Tentara Pembebasan Suriah dan menguasai daerah sekitar Aleppo dan bagian selatan Suriah. Seiring waktu, faksi dari Oposisi Suriah pecah dari politik moderat asli untuk mengejar visi Islam untuk Suriah, seperti Front al-Nusra dan Negara Islam Irak dan Syam (ISIL).[6] Di utara, pasukan sebagian besar pemerintah Suriah menarik untuk melawan FSA, yang memungkinkan YPG Kurdi untuk bergerak dan melakukan klaim de facto atas otonomi.[7] Pada tahun 2015, YPG bergabung dengan Arab, Assyria, kelompok Armenia dan Turkmen membentuk Pasukan Demokratik Suriah.[8]
Per Februari 2016 pemerintah menguasai 40% Suriah, ISIL menguasai sekitar 20-40%, kelompok pemberontak Arab (termasuk Front al-Nusra) 20%, dan 15-20% dikuasai Pasukan Demokratik Suriah. Baik Pasukan Demokratik Suriah maupun Tentara Suriah telah membuat keuntungan baru-baru ini terhadap ISIS.
Organisasi internasional telah menuduh pemerintah Suriah, ISIL, dan pasukan oposisi lainnya melakukan pelanggaran HAM berat, dengan beberapa pembantaian terjadi.[9][10][11][12][13] Konflik menyebabkan cukup banyak perpindahan penduduk. Pada 1 Februari 2016,[14] sebuah pembicaraan damai Suriah Jenewa yang dimediasi oleh PBB dimulai, namun pertempuran terus berlanjut.[15]
Pada tanggal 8 Desember 2024, pasukan pemberontak telah merebut ibu kota, Damaskus. Setelah itu, rezim Ba'ath runtuh, dan al-Assad melarikan diri ke Moskow.[16]