Frekuensi | Bulanan |
---|---|
Sirkulasi | Di bawah 150 |
Pendiri | Armijn Pane Amir Hamzah Sutan Takdir Alisjahbana |
Didirikan | 1933 |
Terbitan pertama | Juli 1933 |
Terbitan terakhir | Maret 1942 |
Perusahaan | Poestaka Rakjat |
Negara | Hindia Belanda |
Berpusat di | Batavia |
Bahasa | Indonesia |
OCLC number | 6619356 |
Poedjangga Baroe (EYD: Pujangga Baru, ejaan Soewandi: Pudjangga Baru) adalah sebuah majalah sastra Indonesia yang avant-garde yang diterbitkan dari bulan Juli 1933 sehingga Februari 1942. Majalah ini didirikan oleh Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sutan Takdir Alisjahbana (STA).
Dari awal abad ke-20, orang pribumi negara Hindia Belanda mulai menjadi bersemangat nasionalisme tinggi, yang diwujudkan dengan terbitnya beberapa publikasi nasionalis. Armijn, Hamzah, dan STA, tiga penulis dari pulau Sumatra, memulai proses pembentukan majalah baru pada bulan September 1932. Mereka mengirimkan surat kepada 40 penulis yang aktif dalam bagian sastra dari koran Pandji Poestaka dan meminta tulisan, serta sepuluh surat kepada para sultan untuk meminta dukungan. Setelah kontrak dengan penerbit milik Belanda Kolff & Co. tidak dapat terwujudkan, para pendiri bersepakatan untuk menerbitkan majalah mereka sendiri. Majalah yang dihasilkan, Poedjangga Baroe, diterbitkan untuk pertama kalinya pada bulan Juli 1933. Selama masa terbitannya, majalah itu mencakupi ruang gerak yang semakin luas dan lebih banyak memuat tulisan berbau politik. Setelah kekaisaran Jepang mendudukan Nusantara pada tahun 1942, majalah ini pun tidak dapat diterbitkan. Suatu majalah lain dengan judul Pudjangga Baru diterbitkan dari tahun 1948 sampai 1954.
Secara ideologis, majalah Poedjangga Baroe mendukung negara yang modern dan bersatu di bawah satu bahasa, bahasa Indonesia. Namun, pandangan budaya dan politik para penulisnya membuat pendirian majalah ini kurang tetap. Untuk menjamin kenetralan politiknya, Poedjangga Baroe memuat tulisan dari segala macam teori politik. Dalam pembahasannya mengenai budaya, majalah ini menerbitkan polemik-polemik yang bertentangan mengenai pentingnya budaya Barat dan tradisi untuk perkembangan negara yang terbaik.
Selama sembilan tahun terbit, Poedjangga Baroe menerbitkan 90 edisi, yang memuat lebih dari tiga ratus butir puisi, lima buah drama, tiga buah antologi puisi, sebuah novel, berbagai esai, dan beberapa cerpen. Publikasi ini, yang tidak pernah mempunyai lebih dari 150 langganan, mendapatkan penerimaan yang beragam. Penulis muda memuji-mujinya karena dianggap mencerminkan keadaan sosio-politik pada zaman itu, sementara orang Melayu yang tradisionalis menolak penggunaan bahasanya, yang dianggap merusak ciri khas bahasa Melayu. Biarpun sebagian besar karya yang dimuatnya sudah terlupakan, tema dan gaya tulis yang menonjol dalam periode 1933 sampai 1942 membuat zaman itu disebut "angkatan Poedjangga Baroe" dalam periodisiasi sastra Indonesia.