Bagian dari the Revolusi Nasional Indonesia | |
Tanggal | 17 Agustus 1945 |
---|---|
Waktu | 10:00 JST (UTC+9) |
Tempat | Rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, (sekarang Tugu Proklamasi). |
Lokasi | Jakarta, Pendudukan Jepang di Hindia-Belanda → Indonesia |
Peserta/Pihak terlibat | Penandatangan: Soekarno Mohammad Hatta Dan anggota dari: PPKI |
Peristiwa ini menandai sejarah berdirinya Republik Indonesia dan diperingati sebagai suatu upacara. |
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan pada pukul 10:00 Waktu Standar Tokyo pada hari Jumat, 17 Agustus 1945[1] di Jakarta.
Chairul Basri, yang bekerja pada kantor propaganda Jepang, disuruh mencari rumah yang berhalaman luas. Rumah Pegangsaan Timur 56 milik orang Belanda ditukar dengan rumah lain di Jalan Lembang. Jadi rumah itu memang disiapkan Jepang untuk Bung Karno. Chairul tidak menyebut nama pemilik rumah itu. Saat diambil alih pemerintah Jepang untuk Sukarno, rumah itu milik Mr. Jhr. P.R. Feith seperti disebut Kwee Kek Beng, pemimpin redaksi koran Sin Po dari 1925 sampai 1947, dalam Doea Poeloe Lima Tahon Sebagi Wartawan, 1922–1947 (1948).
Dari pemberitaan di koran Sin Po 5 Juli 1948 diketahui bahwa rumah tersebut merupakan rumah bersejarah bagi bangsa Indonesia karena menjadi tempat diproklamasikannya kemerdekaan. Rumah tersebut juga pernah dipakai sebagai rumah pertemuan. Belanda juga pernah memfungsikan rumah tersebut sebagai rumah tawanan juga. Rumah itu pun berubah lagi menjadi Gedung Republik. Hingga akhirnya pemiliknya yang orang Belanda menjualnya seharga 250 ribu gulden (ƒ). Rumah ini akhirnya dibeli oleh pemerintah Indonesia. Begini bunyi pemberitaan tersebut:
"Eigenaar (pemilik rumah) itoe roemah jang baroe sadja kombali dari Nederland telah menetapken mendjoel miliknja dengen harga ƒ 250.000,- pada pemerentah repoeblik"
Dari sini belum ditemukan bukti keterkaitan antara pembelian rumah oleh pemerintah Republik Indonesia di tahun 1948 dengan informasi sumbangan rumah Pegangsaan Timur 56 oleh Faradj Martak sebagaimana tertera di dalam surat Ir. M. Sitompoel, Menteri Pekerjaan Umum dan Perhubungan, tanggal 14 Agustus 1950.
Proklamasi yang dibacakan dari rumah Pegangsaan Timur 56 tersebut menandai dimulainya perlawanan diplomatik dan bersenjata dari Revolusi Nasional Indonesia, yang berperang melawan pasukan Belanda dan warga sipil pro-Belanda, hingga Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949.[2]
Pada tahun 2005, Belanda menyatakan bahwa mereka telah memutuskan untuk menerima secara de facto tanggal 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia.[3] Namun, pada tanggal 14 September 2011, pengadilan Belanda memutuskan dalam kasus pembantaian Rawagede bahwa Belanda bertanggung jawab karena memiliki tugas untuk mempertahankan penduduknya, yang juga mengindikasikan bahwa daerah tersebut adalah bagian dari Hindia Timur Belanda, bertentangan dengan klaim Indonesia atas 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaannya.[4] Dalam sebuah wawancara tahun 2013, sejarawan Indonesia Sukotjo, meminta pemerintah Belanda untuk secara resmi mengakui tanggal kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.[5] Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui tanggal 27 Desember 1949 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia.[6]
Naskah Proklamasi ditandatangani oleh Sukarno (yang menuliskan namanya sebagai "Soekarno" menggunakan ejaan Van Ophuijsen) dan Mohammad Hatta,[7] yang kemudian ditunjuk sebagai presiden dan wakil presiden berturut-turut sehari setelah proklamasi dibacakan.[8][9]
Tanggal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ditetapkan sebagai hari libur nasional melalui keputusan pemerintah yang dikeluarkan pada tanggal 18 Juni 1946.[10]