Ilmu pengetahuan abad ke-19 sangat dipengaruhi oleh Romantisisme (atau Era Refleksi,[1] c. 1800–40), sebuah gerakan intelektual yang berasal dari Eropa Barat sebagai gerakan tandingan terhadap Pencerahan akhir abad ke-18.[2] Romantisme mencakup banyak bidang studi, termasuk politik, seni, dan humaniora.
Berbeda dengan filsafat alam mekanistik Pencerahan, para ilmuwan Eropa pada periode Romantis berpendapat bahwa mengamati alam berarti memahami diri dan bahwa pengetahuan tentang alam "tidak boleh diperoleh dengan paksa". Mereka merasa bahwa Pencerahan telah mendorong penyalahgunaan ilmu pengetahuan, dan mereka berupaya untuk mengembangkan cara baru untuk meningkatkan pengetahuan ilmiah, yang menurut mereka akan lebih bermanfaat tidak hanya bagi umat manusia tetapi juga bagi alam.[3]
Romantisme mengajukan sejumlah tema: ia mempromosikan anti-reduksionisme (bahwa keseluruhan lebih berharga daripada bagian-bagiannya saja) dan optimisme epistemologis (manusia terhubung dengan alam), dan mendorong kreativitas, pengalaman, dan kejeniusan.[4] Hal ini juga menekankan peran ilmuwan dalam penemuan ilmiah, dengan menyatakan bahwa memperoleh pengetahuan tentang alam berarti memahami manusia juga; oleh karena itu, para ilmuwan ini sangat mementingkan penghormatan terhadap alam.[3]
Romantisme menurun mulai sekitar tahun 1840 sebagai sebuah gerakan baru, positivisme, yang menguasai kaum intelektual, dan berlangsung hingga sekitar tahun 1880. Seperti halnya para intelektual yang sebelumnya kecewa dengan Pencerahan dan mencari pendekatan baru terhadap sains, orang-orang kini kehilangan minat terhadap Romantisisme dan berusaha mempelajari sains menggunakan proses yang lebih ketat.