Sistem noken (juga disebut sistem ikat) adalah sebuah sistem pemilihan umum yang digunakan khusus untuk sejumlah kabupaten di wilayah Pegunungan Tengah di Provinsi Papua Tengah dan Papua Pegunungan, Indonesia. Sistem ini dinamai dari noken, yaitu sebuah tas anyaman dari serat kulit kayu yang memiliki peran sentral dalam kehidupan masyarakat Papua. Tidak diketahui secara pasti kapan sistem noken pertama kali digagas. Konon gagasan untuk memasukkan surat suara ke dalam noken muncul secara spontan saat pesta bakar batu yang merupakan sebuah tradisi di Papua, tetapi ada pula yang meyakini bahwa sistem noken sebenarnya diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1970-an dan bukan sebuah tradisi yang sudah dipraktikkan sejak lama oleh masyarakat di wilayah Pegunungan Tengah Papua.
Sistem noken digunakan di wilayah adat Mee Pago (Papua Tengah) dan La Pago (Papua Pegunungan). Walaupun tidak ada definisi umum untuk menentukan sistem pemilihan mana yang dapat dianggap sebagai sistem noken, secara umum terdapat dua pola sistem noken. Pola pertama, yaitu sistem big man (pria berwibawa), menyerahkan pilihan sepenuhnya kepada kepala suku. Kepala suku dapat melakukan pencoblosan untuk warganya atau sekadar memberitahukan pilihan masyarakatnya kepada Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Pola kedua, yaitu sistem "noken gantung", dilandaskan pada hasil kesepakatan bersama masyarakat dengan kepala suku setelah melalui proses deliberasi (melakukan pertimbangan yang mendalam dengan melibatkan semua pihak sebelum mengambil keputusan). Pada hari pemilihan umum, tas noken berperan sebagai pengganti kotak suara. Masing-masing noken melambangkan suatu calon, dan pemilihan dilakukan di muka umum dengan memasukkan surat suara ke dalam noken calon yang telah disepakati, atau dengan berbaris di hadapan noken tersebut. Suara bisa diberikan kepada satu calon saja atau dibagi kepada beberapa calon sesuai kesepakatan sebelumnya. Namun, dilaporkan bahwa belakangan unsur deliberasi dan pemilihan umum dengan menggunakan noken sudah menghilang di lapangan.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa sistem noken adalah konstitusional karena dianggap sebagai pendekatan yang paling realistis untuk mencegah konflik dan disintegrasi. Selain itu, sistem noken juga dianggap oleh Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari hak adat masyarakat wilayah Pegunungan Tengah. Namun, sistem noken juga menuai kritikan karena memicu sistem broker yang berujung pada politik uang; rentan dimanipulasi oleh elite politik; mengorbankan hak pilih individu; serta bertentangan dengan asas pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Hasil pemilihan umum sistem noken juga terbilang "ganjil" bila dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia, mengingat tingkat partisipasi mencapai 100%, jumlah suara tidak sah tidak ada sama sekali, dan perolehan suara calon di wilayah tertentu bisa mencapai 100%. Selain itu, pandangan Mahkamah Konstitusi bahwa sistem noken memelihara perdamaian juga dipertanyakan, karena sistem tersebut malah dianggap bisa memperburuk ketegangan dan konflik antaretnis.