Surat Perintah Sebelas Maret | |
---|---|
Ratifikasi | 11 Maret 1966 |
Dibatalkan | 28 Oktober 1971 |
Lokasi | [Lihat bagian] |
Penandatangan | Soekarno |
Tujuan | Memberikan mandat kepada Letnan Jenderal Soeharto, selaku Panglima Kopkamtib, untuk mengambil segala tindakan yang "dianggap perlu" guna menangani situasi keamanan dan stabilitas pemerintahan. |
Surat Perintah Sebelas Maret, yang biasa disebut dengan singkatan Supersemar, adalah sebuah dokumen yang ditandatangani oleh Presiden Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966, yang memberikan wewenang kepada Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan apa pun yang "dianggap perlu" untuk memulihkan ketertiban dalam situasi kacau selama pembantaian massal di Indonesia 1965–1966. Singkatan "Supersemar" juga merupakan plesetan dari nama Semar, tokoh mistik dan sakti yang sering muncul dalam mitologi Jawa, termasuk dalam pertunjukan wayang. Penyebutan Semar mungkin dimaksudkan untuk membantu memanfaatkan mitologi Jawa untuk memberikan dukungan terhadap legitimasi Soeharto selama periode transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.
Akibatnya, Supersemar dianggap sebagai instrumen utama pengalihan kekuasaan eksekutif dari Soekarno ke Soeharto.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dalam Sidang Umum 1966 kemudian mengangkat Supersemar menjadi resolusi semi-konstitusional yang tidak dapat dibatalkan oleh Soekarno. Resolusi ini secara eksplisit menyatakan bahwa Supersemar tidak lagi memiliki kekuatan hukum setelah "terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umum." Pemilihan umum diadakan pada tahun 1971 dan para anggotanya dilantik pada tanggal 28 Oktober 1971.