Wali Sanga

Walisongo (lebih dikenal sebagai Wali songo, bahasa Jawa: ꦮꦭꦶꦱꦔ; WALI SONGO, "Sembilan Wali" merupakan tokoh Islam yang dihormati di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, karena peran historis mereka dalam penyebaran agama Islam di Indonesia

Walisongo merupakan para pendakwah Islam yang hadir di Pulau Jawa sejak akhir abad 15 M hingga abad 16 M. Ada cukup banyak literatur yang membahas WALISONGO. Di antara paling populer adalah Babad Tanah Jawa, yang ditulis era Pakubuwana (abad 19 M), dan literatur yang jauh lebih tua, Kitab WaliSana yang bersumber pada literatur Kedatuan Giri(abad 16 M). Sementara pendekatan arkeologis dan filologis membuktikan Islam sudah datang di Pulau Jawa sejak abad 11 M, jauh sebelum era Walisongo.

Karya sastra Babad Tanah Jawa menyebut bahwa anggota Walisongo yang berdakwah di Pulau Jawa berjumlah sebanyak sembilan orang. Sebab, Songo berarti sembilan. Di antara anggota Walisongo yang berdakwah di Pulau Jawa pada abad 15 - 16 M versi Babad adalah; (1) , Sunan Ampel, (3) Sunan Giri, (5) Sunan Kalijaga, (6) Sunan Drajat , (7) Sunan Udung, (8) Sunan Muria, dan (9) Syaikh Maulana Maghribi.

Secara literatur, istilah Walisongo muncul pertamakali pada Babad Tanah Jawa. Pakem standar yang menyebut jumlah Wali ada sembilan orang, sumber paling tua adalah karya Babad Tanah Jawa di era Pakubuwana tersebut. Sebelum era sastra Babad Tanah Jawa (abad 19 M), tak ditemui istilah Walisongo, yang ada adalah Walisana.

Sementara literatur-literatur yang menginduk pada  Babad Tanah Jawa seperti Babad Kartasura, Serat Ronggowarsito, Serat Centhini, Babad Bandawasa, Babad Pathi, Babad Ajisoko, Babad Brawijaya, Babad Trunojoyo, Babad Mataram dan Babad-babad lainnya, menginformasikan perihal tak jauh berbeda dari sumber utamanya, yaitu Babad Tanah Jawa (abad 19 M).

Jumlah Wali sebanyak sembilan orang yang dipakemkan Babad Tanah Jawa, berdampak negatif pada terjadinya kesalahan logika periodisasi. Misalnya, Syekh Maulana Malik Ibrahim Gresik digolongkan kedalam generasi Sunan Ampel. Padahal, Syekh Maulana Malik Ibrahim sudah wafat, bahkan ketika Sunan Ampel belum memulai gerakan dakwah (Sunyoto, 2012).

Banyak yang menyamakan tokoh Syekh Maulana Malik Ibrahim Gresik dengan Maulana Ibrahim Asmoroqondi Tuban (ayah Sunan Ampel). Padahal, keduanya dua tokoh yang berbeda. Keduanya juga hidup di zaman yang berbeda. Syekh Maulana Malik Ibrahim Gresik jauh lebih dulu datang ke Pulau Jawa, sebelum Maulana Ibrahim Asmoroqondi (ayah Sunan Ampel).

Ada cukup banyak Wali yang tidak terakomodir Babad Tanah Jawa. Namun memiliki jejak literatur dan arkeologis jelas. Seperti Fatimah binti Maimun (abad 11 M), Syekh Syamsuddin al Wasil (abad 12 M), Sultan Malik As-Shalih (abad 13 M), Syekh Maulana Malik Ibrahim (akhir abad 13 M), Syekh Jumadil Kubro (abad 14 M),  Syekh Maulana Ibrahim Asmoroqondi (akhir abad 14 M), Syekh Siti Jenar (abad 15 M), hingga Wali Tembayat (abad 16 M).

Dalam Kitab Walisana, literatur ilmiah yang jauh lebih tua dan lebih dipercaya dibanding sastra Babad Tanah Jawa, memberi informasi berbeda. Literatur yang ditulis pada awal abad 16 M tersebut tidak menyebut Walisongo, tapi Walisana. "Sana" merupakan bahasa Jawa kuno yang berarti tempat atau daerah. Walisana berarti Wali di suatu daerah.

Berdasar Kitab Walisana, jumlah Wali pada awal abad 16 M sebanyak delapan orang. Yaitu; (1) Sunan Ampel di Surabaya (2), Sunan Gunung Jati di Cirebon, (3) Sunan Ngudung di Jipang, (4) Sunan Giri di Gresik, (5) Sunan Bonang di Tuban, (6) Sunan Alim di Majagung, (7) Sunan Mahmud di Drajat, dan (8) Sunan Kali.

Istilah Walisana berkonsep Wali Wolu Siji Tinari. Setiap zaman dan era selalu memunculkan tokoh-tokoh yang berbeda, berbasis titik kewilayahan dakwahnya. Walisana tidak berbasis pakem nama seperti Babad Tanah Jawa, tapi berbasis kewilayahan dakwah. Dalam konsep Walisana, memungkinkan cukup banyak nama Wali di tiap kewilayahan dan zaman.


From Wikipedia, the free encyclopedia · View on Wikipedia

Developed by Nelliwinne